Saturday, October 5, 2013

Perjalanan ke Baduy

Kali ini saya bersama teman teman sekantor dan juga teman teman dari teman sekantor (bingung bacanya ya...) melakukan perjalanan ke Baduy. Sebenarnya kata Baduy ini merujuk ke gunung Baduy atau sungai Baduy, namun orang orang (pengunjung) sering menyebutnya daerah Baduy atau orang Baduy. Padahal penduduk Baduy sendiri lebih menyukai disebut sebagai urang kanekes yang artinya orang Kanekes. Kanekes sendiri merupakan nama wilayah mereka.
Nah.. penduduk Kanekes sebenarnya merupakan subetnis Sunda. Menurut penjelasan salah seorang penduduk Baduy di tempat saya dan teman teman menginap, Sunda terbagi dua yaitu Priangan dan Wiwitan. Dan penduduk yang mendiami gunung Baduy ini adalah etnis wiwitan. Dan menurut mereka, sub etnis wiwitan lebih tua dibanding dengan priangan. Etnis priangan adalah orang orang bersuku sunda yang saat ini banyak bermukim di Bandung dan sekitarnya. Begitulah kira kira penjelasan yang dapat saya tangkap.

Perjalanan dari Jakarta kami mulai hari Jumat malam. Rencananya kami start jam 7 malam, namun karena satu dan lain hal, molor menjadi jam setengah sembilan malam. Kami beriringan menggunakan sekitar 6 mobil. Jauhnya perjalanan menuju desa ciboleger sebagai desa Baduy Luar pertama mungkin sekitar 120 - 130 km. Namun perjalanan memakan waktu 5-6 jam karena jalanan yang berkualitas buruk terutama setelah melewati Rangkasbitung menuju desa Ciboleger.
Perjalanan kami juga agak lama karena sekitar jam 11 malam ketika di daerah Serang tepatnya di jalan Raya Pandeglang - Baros, banyak terdapat warung durian yang buka 24 jam. Kami pun singgah di salah satu pondok disana yang bernama Durian Jatuhan Haji Arif - DJHA. Yang enaknya, mereka juga menyediakan tempat lesehan untuk rebahan dan gratis. Jadi misalnya kita lelah dalam perjalanan malam dan ingin rebahan sampai pagi, mereka menyediakannya. Sayapun yang lebih senang dengan durian yang rasanya lebih pahit, langsung sikat... hap hap hap...durian Indonesia memang mantapp...
Makan durian di DJHA
Setelah puas makan durian, kami melanjutkan perjalanan malam. Sempat kami salah arah, namun akhirnya para driver menyadarinya. Kondisi jalanan banyak lubang, dan terkadang sama sekali tidak beraspal. Ini yang membuat sangat tidak nyaman di dalam mobil padahal sudah mulai mengantuk.
Akhirnya kami tiba di Desa ciboleger sekitar jam 2an pagi. Di desa Ciboleger ini gerbang masuk menuju desa baduy luar pertama. Masih terdapat minimarket dan sekolah dan juga mesjid. Setelah berjalan sekitar 200 meter, tepat di gerbang pembatas, disitulah mulai terlihat peradaban yang lain dari umumnya. Itulah desa pertama Baduy Luar. Mereka tidak menggunakan listrik. Sementara beberapa meter dikejauhan, terlihat rumah menggunakan listrik dan lampu lampu bercahaya. Kami bermalam di desa ini di rumah penduduk. Keesokan paginya, kami bangun dan menyiapkan diri untuk berjalan menuju desa Baduy Dalam. Perjalanan akan memakan waktu 4-5 jam. Kami sarapan sesuai dengan kebiasaan setempat. Kami makan bersama sama di daun pisang yang panjang. Jadi di atas daun pisang, diletakaan nasi dan lauknya, dan kami makan berjejeran di tepi daun pisang tersebut. Penduduk Baduy luar, selain bercocok tanam, mereka banyak menjual cendera mata ke pengunjung. Kebanyakan adalah kain hasil tenunan sendiri, jahe merah yang sudah jadi bubuk, madu, dan souvenir lainnya seperti gantungan kunci, kaos dan kemeja dengan motif khas Baduy.
Sarapan
Desa pertama Baduy Luar - Ciboleger
 Setelah selesai sarapan, kamipun berkemas untuk segera berjalan. Awalnya kami permisi dulu ke kepala desa setempat yaitu Bapak Jaro Dainah. Beliau mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kunjungan kami. Beliau juga mengatakan bahwa beliau mungkin adalah kepala desa dengan penduduk terbanyak sekitar 10 ribuan (total penduduk baduy luar dan baduy dalam). Beliau juga menjamin bahwa tidak pernah ada kriminalitas di daerah Baduy. Tidak ada satupun warga baduy yang masuk penjara. Namun kami dipesankan juga untuk menghargai dan menghormati adat setempat. Mendengar hal itu, sebenarnya hati saya malu. Mereka yang tidak pernah menuntut apa apa dari negara ini, sangat mencintai tempat kediamannya. Tidak seperti Jakarta yang diisi orang orang yang katanya cerdas, pintar, dan banyak menuntut, namun banyak yang tak bermoral.
Kepala desa
Setelah selesai mengobrol dengan Pak Jaro, kamipun berangkat menuju desa Cibeo sebagai desa terakhir Baduy dalam. Awalnya kami melalui banyak perkampungan. Dari satu kampung ke kampung lain. Begitu seterusnya. Ini masih daerah perkampungan Baduy luar. Guide kami adalah orang dari Baduy dalam dan juga baduy luar.
Perkampungan di Baduy Luar
 Di salah satu desa, kami melihat bagaimana seorang nenek dengan alat tradisionalnya mengubah kapas menjadi benang. Kelihatannya mudah, tapi ketika teman teman mencobanya, setiap kapasnya ditarik, pasti putus. Namun nenek tersebut, bisa menarik kapas tersebut, menggulungnya dengan alat tradisionalnya, sampai kapasnya habis menjadi benang tidak putus putus. Nah.. benang inilah yang akan ditenun menjadi kain dan menjadi baju orang Baduy. Benar benar sangat alami. Mereka benar benar hidup dari alam, oleh alam, dan untuk alam. 

Mengubah benang menjadi kapas
Kami kemudian beristirahat sambil makan siang nasi bungkus yang sudah kami siapkan sebelumnya.
Di tengah perjalanan, seorang guide kami orang baduy dalam (saya lupa namanya), membawa air nira yang baru saja diambilnya dari pohon. Kamipun mencobanya. Sedapnya bukan main. Nira asli benar benar nikmat. Minuman bersoda bermerek apapun kalah jauh. Nira ini masih sangat steril karena langsung dari pohon. Di perjalanan juga banyak pohon durian, tapi sayang belum waktunya berbuah. Kami juga melewati beberapa aliran sungai selama dalam perjalanan.
Perkampungan selama dalam perjalanan
Dan akhirnya kami akan menyeberangi sebuah jembatan bambu yang lumayan panjang. Ini menjadi pembatas antara baduy luar dan baduy dalam. Salah satu ketentuan tidak tertulis adalah yang boleh memasuki kawasan baduy dalam adalah ras asli orang Indonesia (ras Australoid kalo ga salah). Jadi ras mongoloid seperti saudara kita orang Indonesia yang bersuku Tionghoa dilarang memasuki kawasan tersebut. Namun pada saat itu, guide kami orang baduy mengijinkan teman kami yang dikategorikan sebagai ras mongoloid untuk memasuki kawasan baduy dalam. Kami pun berterima kasih atas hal tersebut karena tidak sering sering mereka mengijinkannya. Beberapa teman kami tidak melewati jembatan, tetapi menyeberangi langsung sungai. Sepertinya lebih enak bermain air di sungai.Aturan yang penting di Baduy dalam juga adalah tidak diperkenankan untuk mengambil foto. Dan sebaiknya handphone dimatikan saja, toh sinyal juga tidak ada.
Jembatan ke Baduy Dalam
Kemudian perjalanan kami lanjutkan kembali. Cukup banyak perbukitan yang menanjak harus kami lewati. Saya sendiri tidak menyangka akan secapek itu. Hebatnya orang orang asli Baduy tersebut tidak ada rasa letih, keringatpun tak ada. Mereka memang sudah biasa. Dan mereka tidak menggunakan alas kaki sesuai dengan aturan adat mereka.

Akhirnya kami sampai juga di Desa Cibeo sekitar jam 3 sore. Saya dan beberapa teman menginap di salah satu rumah penduduk. Teman saya mencoba mengajak mengobrol ibu dan anak pemilik rumah. Ketika teman saya bertanya dimana suaminya, si ibu menjawab sedang ke jakarta sudah 2 hari untuk kunjungan balasan. Ya, begitulah mereka. Mereka sangat senang dikunjungi, dan bila kita memberi alamat kita, mereka akan mendatangi kita sebagai kunjungan balasan. Mereka akan ke rumah kita dengan BERJALAN KAKI TANPA ALAS KAKI. Itu sesuai dengan peraturan adat mereka. Mereka tidak minta apa apa di kunjungan balasan mereka. Itu sebagai tanda terima kasih mereka sudah dikunjungi sebelumnya. Biasanya cara mereka ke jakarta berjalan kaki adalah dengan mengikuti rel kereta api.
Di rumah kami disuguhi air minum. Gelasnya terbuat dari potongan bambu. Tempat airnya kendi tanah liat. Rumahnya dari anyaman bambu. Semuanya serba alam.
Setelah beristirahat, kami menuju salah satu rumah tempat banyak terdapat alat musik angklung dan gendang. Disinilah biasanya anak anak baduy bermain musik. Sangat enak didengar. Musiknya khas sunda. Mereka belajar sendiri dan angklungnya juga penduduk setempat yang membuat sendiri.
Kemudian saya dan beberapa teman mandi di sungai di sore hari. Di sungai sudah ada lokasi yang ditentukan dimana tempat wanita mandi, laki laki mandi, dan juga tempat buang air. Sesuai aturan adat, tidak diperbolehkan menggunakan sabun,, shampo, odol dan bahan lain yang mengandung bahan kimia. Di dekat kami ada seorang bapak penduduk asli yang mandi. Mereka mandi hanya menggosokkan badan dengan tangan saja. Dan bajunya dikucek kucek dengan air. Tidak menggunakan deterjen atau hal lain yang dapat mencemari air sungai. Sangat menyatu dengan alam. Kami sangat menikmati berendam di sungai sampai cukup lama, sampai ada ular kecil yang mendekati salah seorang teman kami. Karena itulah kami naik, mungkin peringatan juga untuk kami bahwa waktu mandi sudah habis, saatnya ular yang mandi...hehehe....

Setelah selesai mandi kami kebanyakan duduk duduk di bebatuan di lapangan terbuka seperti di tengah kampung tersebut. Di kejauhan terlihat beberapa rumah yang katanya didiami oleh tetua adat dan tidak boleh didekati. Kami juga berkeliling kampung dan ternyata sudah ada penjual snack (bukan penduduk setempat). Beberapa anak anak kecil baduy dalam membeli snack disitu. Dijual juga minuman minuman bersoda dan juga mie instant. Ini sudah salah satu bentuk keterbukaan baduy dalam. Sepintas saya melihat orang Baduy inilah yang hidup menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam. Malam mulai menjelang, dan perkampungan benar benar gelap. Penduduk baduy dalam tidak menggunakan senter, hanya lampu api yang digantung di dalam rumah. Namun pengunjung masih diijinkan untuk menggunakan senter.

Setelah bersenda gurau di lapangan, akhirnya terdengar suara bahwa makan malam sudah siap. Kami pun makan malam tetap dengan gaya Baduy di atas daun pisang. Setelah makan, dan memberesi sisa makanan, kami kebanyakan berkumpul di salah satu rumah, mengobrol dengan Bapak yang menceritakan tentang riwayat Baduy. Mereka sambil memasak dan menyuguhkan jahe merah untuk kami. Enaknya bukan main jahe merah tersebut. Hangat. Pantas saja walaupun mereka tidak minum teh atau kopi, tapi orang Baduy tetap sehat dengan minum jahe merah tersebut.
Bapak tersebut menceritakan asal muasal Baduy (yang sudah disinggung di awal cerita), namun sampai saat ini tetap belum diketahui awal sekali bermulanya sub etnis sunda wiwitan. Bapak tersebut juga bercerita tentang beliau sudah sering ikut kejuaraan bermain angklung mewakili kabupaten atau sekedar bermain angklung di pertunjukan. Beliau bercerita tentang agama mereka Sunda wiwitan yang di Indonesia dimasukkan sebagai aliran kepercayaan. Mengenai hal ini, saya pribadi sebenarnya sudah protes di dalam hati saya kepada bangsa Indonesia. Kenapa aliran aliran kepercayaan yang asli Indonesia tidak dianggap sebagai agama di negaranya sendiri. Bahkan agama yang diakui di Indonesia, adalah agama import, dibawa dari luar negeri. Mirip seperti Ugamo Malim yang merupakan aliran kepercayaan orang Batak sebelum masuknya agama. Aliran aliran kepercayaan ini sudah ada sebelum Indonesia ada. Tetapi mereka dipinggirkan oleh negaranya sendiri (berpikir secara kebangsaan). Itulah pendapat saya, bisa benar bisa juga tidak.
Setelah selesai ngobrol, kamipun akhirnya kembali ke rumah tempat kami beristirahat. Suhu udara di baduy dalam jauh lebih dingin dibandingkan dengan di baduy luar. Untunglah kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya agar tidur lebih hangat dan nyaman. 

Keesokan paginya kami bangun. Tidak banyak aktifitas yang kami lakukan. Setelah sarapan, kami berkemas untuk pulang. Saya sempatkan mandi di sungai dengan beberapa teman saya.
Teman saya sempat berkeliling kampung. Terdapat beberapa wanita menumbuk padi tidak mengenakan pakaian atasan. Topless. Pakaian atasan sepertinya kadang dipakai dan kadang dilepas. Mereka memang penghasil padi. Mereka memiliki rumah rumah tempat untuk menyimpan padi. Warga Baduy sepertinya tidak akan pernah mengalami bencana kelaparan. 
Sesaat sebelum pulang, terdapat beberapa penduduk menawarkan souvenir yang dijual kepada kami. Setau saya, dulu mereka sebenarnya menolak untuk menerima uang, tapi sekarang sudah mulai menerima uang. Mereka juga menawarkan madu hutan, gantungan kunci, kain tenun, jahe merah, dll. Sebenarnya barang barang ini juga dijual di baduy luar. Bila ingin membeli dan terasa agak mahal, tawar saja tapi dengan halus.

Setelah selesai berkemas, akhirnya kami berangkat pulang. Kali ini melalui jalur timur. Kemarin kami melalui jalur barat. Tetap saja akan melalui beberapa perkampungan dan di ujungnya kami akan kembali ke desa Ciboleger. Pulang bukan berarti jalanan menurun. Tetap banyak perbukitan yang harus kami lalui. Menanjak dan kemudian menurun, berulang terus menerus. Ditambah panas terik, cukup membuat letih. Setelah berjalan panjang, kami istirahat sebentar di sebuah danau kecil. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan seorang yang sudah sangat tua menyapa kami. Guide kami mengatakan Bapak tersebut sudah berumur 100 tahun dan sudah mulai pikun. Bapak tersebut menyapa kami dan berbicara dalam bahasa sunda sementara saya tidak mengerti maksudnya.
Perjalanan pulang

Istirahat di danau
Pada akhirnya kami sampai di desa Ciboleger mungkin sekitar jam 12 siang. Beberapa orang membersihkan diri dan yang lain rebahan. Banyak juga yang membeli souvenir. Saya yang sebelum berangkat ke baduy dalam membeli ikat kepala khas baduy, kali ini membeli beberapa botol madu untuk oleh oleh. Pada akhirnya saya menyesal karena tidak membeli jahe merah. Kalau harga kain tenun dan sovenir seperti gantungan kunci bisa ditawar, tapi sepertinya madu dan jahe merah sudah harga pas.
Tenunan dan Souvenir
Akhirnya kami berangkat pulang sekitar hampir jam 2 siang. Kami kemudian makan sore di daerah Rangkasbitung sekitar jam setengah lima sore, dan tiba kembali di base camp di jakarta jam 8 malam.
Pintu masuk Desa Ciboleger
Perjalanan ini membuat saya semakin mengenal salah satu budaya di Indonesia.
Warga di Baduy dalam dan baduy luar lebih mengikuti peraturan adat dimana peraturan adatnya lebih mengutamakan keharmonisan hidup dengan alam. Tetua adat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Pakaian orang baduy luar didominasi warna hitam hitam sementara baduy dalam putih putih. Aktifitas mereka kebanyakan diisi dengan bercocok tanam. Namun ada juga aturan tentang tanaman apa yang bisa ditanam dan mana yang tidak. Binatang yang dipelihara mereka juga hanya ayam yang saya lihat. Apapun aturannya, sepertinya mengarah kepada bagaimana agar mereka tidak merusak alam dan dapat hidup damai berdampingan dengan alam.

NB : Foto diambil dari kamera teman teman seperjalanan...

2 comments:

  1. Hi boleh nanya nama Guide ke BADUI ini & cara menghub nya ?

    ReplyDelete
  2. PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA USAHA MAN / WANITA, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman tahun baru pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat memulai tahun baru dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan kami pelanggan adalah kekuatan kita. Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
    Informasi Peminjam:

    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com

    ReplyDelete