Friday, October 25, 2013

Perjalanan ke Semarang, Jogjakarta, dan Dieng

Perjalanan saya bersama teman sekitar bulan april yang lalu memakan waktu sekitar 3 hari 3 malam full. Dimulai Jumat pagi pukul 05.15 menggunakan pesawat Air Asia dari Jakarta menuju semarang, dilanjutkan ke magelang, jogjakarta, wonosobo - dieng, dan kembali ke Jakarta menggunakan bus tiba hari senin pagi sekitar jam 7.
Untuk saat ini sepertinya air asia menutup penerbangan jakarta semarang.

Kami tiba di bandara Achmad Yani Semarang sekitar jam  6.45 pagi. Bandaranya tergolong berukuran kecil. Dari sini kami berencana menuju Gedung Lawang Sewu. Dari bandara kami bertanya kepada petugas disana bagaimana cara untuk mencapai gedung tersebut. Rata rata mengusulkan untuk naik taksi saja, karena tergolong dekat (sepertinya hanya sekitar 5 km). Sebenarnya bisa naik bus angkutan umum, tapi kita harus berjalan dari gedung bandara menuju jalan raya dan jaraknya lumayan jauh. Kami berusaha mencari taksi yang sering dipercaya di jakarta (tak perlu menyebut nama taksinya) tapi tidak ada, kemudian saya iseng mengajak jalan ke bagian terminal keberangkatan, dan ternyata ditemukan taksi yang kami inginkan yang baru saja mengantar penumpang. Kami langsung masuk taksi tersebut. Ketika kami tanyakan kepada supir taksi kenapa tidak mangkal di bandara, ternyata tidak diberi ijin oleh operator bandara. Hal ini memang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Entah mengapa takut sekali bersaing dengan taksi yang satu ini. Padahal membuka persaingan akan meningkatkan pelayanan taksi taksi lainnya.

Perjalanan hanya sekitar 10-15 menit. Ongkos hanya sekitar 20 ribuan (ini sebelum argo taksi naik akibat kenaikan harga BBM). 

Setelah itu kami melintasi tugu simpang lima yang terkenal itu dan kami diturunkan tepat di gerbang Gedung Lawang Sewu. Di pintu gerbangnya tertulis bahwa jam buka adalah jam 7 pagi sampai jam 9 malam. Namun ketika kami tiba sekitar jam 7.30 pagi, penjaganya mengatakan bahwa petugas loket belum datang, sehingga kami menunggu di kursi dekat loket sambil sarapan dari bekal yang kami bawa. Petugas datang sekitar jam 8.15 dan meminta maaf kepada kami atas keterlambatannya. Harga tiket pada saat itu adalah 10 ribu per orang, namun untuk anak anak dan pelajar hanya lima ribu rupiah.

Kami berkeliling di lokasi Gedung Lawang Sewu. Gedung ini memang besar, megah, dan arsitekturnya indah. Sekilas dilihat seperti gaya arsitektur eropa. Namun kalau melihat dari kubah dan juga atapnya, seperti ada perpaduan budaya cina dan arab. Terdapat juga peta alur kunjungan gedung agar kita tidak tersesat di dalam gedung yang besar ini. Banyak yang bilang bahwa gedung lawang sewu terdiri dari gedung 1000 pintu karena banyaknya pintu di gedung tersebut.Tapi sepertinya tidak sampai 1000, mungkin ratusan. Di dalam gedung, kebanyakan ruangan saling terhubung dengan pintu, atau disatukan oleh  selasar yang berada di sisi gedung. Gedung Lawang sewu ini sebenarnya terdiri dari beberapa gedung. Pada saat kami berkunjung, ada salah satu gedung yang sedang direnovasi.
Di salah satu gedung yang kecil, terdapat informasi yang cukup lengkap mengenai Sejarah Gedung Lawang Sewu dan sejarah kereta api di semarang. Gedung ini memang sempat menjadi kantor kereta api. Secara umum, gedung ini sudah mulai terawat dan baik, walau di bagian lain ada bagian bagian yang rusak, mungkin masih menunggu antrian untuk diperbaiki. Begitu banyaknya dan besarnya ruangan, sementara tidak ada isi di dalamnya membuat gedung serasa kosong. Ini mungkin yang perlu diperbaiki agar gedung ini terlihat lebih menarik. Banyak yang mengatakan bahwa gedung ini berhantu, bagi saya sebenarnya tidak seperti itu. Hanya kekosongannya sajalah yang menimbulkan kesan sepi dan sunyi.

Setelah puas menjelajah dalam gedung dari gedung yang satu dan yang lain, kami berjalan di halaman gedung menikmati indahnya arsitektur gedung. Di salah satu sisi halaman, terdapat sebuah lokomotif uap dengan kode C 23 01. Ini lokomotif yang dulu pernah digunakan sejak 1908 sampai tahun 1980-an. Setelah puas, kamipun akhirnya keluar dari gerbang kompleks gedung Lawang Sewu. Tepat di depan kami adalah bundaran tugu simpang lima. Di sekitar tugu simpang lima ini, terdapat beberapa gedung pemerintahan termasuk Gedung Lawang Sewu.
Lawang Sewu
Kami berencana melanjutkan perjalanan ke Magelang untuk berkunjung ke Borobudur. Setelah bertanya sana sini, kami akhirnya naik angkutan umum ke Terminal Terboyo di Semarang. Perjalanan cukup lama, mungkin sekitar hampir 1 jam. Sampai di Terminal Terboyo, saya agak tertegun. Begitu memprihatinkan situasinya. Terminal ini tidak terawat dan terkesan tidak aman. Kemudian kami mencari bus luar kota menuju Borobudur. Kami disarankan untuk naik bus nusantara dengan tujuan Semarang Jogjakarta. Kami menunggu bus sekitar 1 jam di loketnya. Harga tiket pada waktu itu 21 ribu per orang. Busnya sangat baik dan ber AC. Kami mengatakan kepada kondekturnya ingin ke borobudur, sehingga nantinya dia akan menurunkan kami di terminal untuk melanjutkan dengan bus dalam kota menuju candi borobudur.
Perjalanan dari Semarang menuju Magelang sekitar 3 jam. Saya manfaatkan untuk tidur, namun terkadang saya lihat pemandangan selama dalam perjalanan cukup indah. Di kejauhan terlihat perbukitan yang hijau dan luas, namun saya kurang tau itu daerah mana. Di Magelang saya perhatikan kami juga melalui kompleks Sekolah Angkatan Darat dan juga sekolah Taruna Magelang yang terkenal itu.
Akhirnya kami diturunkan di terminal di Magelang. Setelah menunggu sebentar, kami mengambil bus dalam kota menuju Borobudur. perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit dan ongkosnya 8 ribu rupiah. Kami turun di pemberhentian terakhir bus tersebut di terminal desa borobudur. Di terminal ini akan banyak tukang becak yang menawarkan jasa becak ke candi borobudur. Harga yang ditawarkan sekitar 10 ribu. Kalau jalan kaki mungkin sekitar 1 km. Mungkin jalan kaki juga nikmat, namun karena di lokasi candi kita juga akan sangat banyak berjalan, lebih baik menikmati angin dari atas becak. Tukang becak juga akan banyak menawarkan penginapan murah di sekitar candi borobudur mulai dari harga 50 ribu rupiah.

Harga tiket masuk untuk turis lokal ke candi Borobudur 30 ribu. Terdapat juga tempat penitipan barang barang gratis. Ini sebenarnya kunjungan saya yang kedua ke Borobudur. Tapi kemegahannya tetap menakjubkan. Beberapa tahun yang lalu sebenarnya borobudur sempat terkena abu vulkanik dari gunung merapi, namun saat ini pembersihan sepertinya sudah selesai. Menjalani kompleks area menuju candi, banyak pepohonan hijau yang berjejer rapi, taman taman yang rapi bersih, membuat hati tenang teduh. Kami kemudian berkeliling dan naik ke candi sampai ke paling atas. Melihat indahnya patung patung dan ukiran batu yang terdapat di dinding candi. Dari atas candi, memandang ke sekitar, akan terlihat pemandangan hijau, pepohonan dan pebukitan, sehingga seakan akan candi ini berada di tengah tengah hutan. Kami tidak menyewa guide lokal (seperti kebiasaan banyak turis lokal), sehingga tidak mengetahui hal hal yang mungkin menarik di area candi. Suatu saat nanti bila kesana lagi, sepertinya saya ingin untuk menyewa jasa guide lokal untuk menuntun.
Di saat turun, hujan sempat turun dan bermunculan jasa sewa payung dengan tarif 5 ribu rupiah, tapi 5 menit kemudian berhenti. Ada ada saja...hehehe...
Ketika sedang berjalan di kompleks borobudur, akan sangat banyak para penjual menghampiri menawarkan barang dagangannya. Dari pernak pernik, kaos dan celana. Buat teman teman, santai saja, tidak usah buru buru membeli, karena diujung jalan juga akan banyak penjual cindera mata. Terkadang bila tidak hati hati, para penjual yang menghampiri akan menjual barang dagangannya sedikit lebih mahal. 
Enaknya, di semua penjual, kita bebasss untuk menawar sana sini....
Borobudur
Setelah puas berkeliling, kami kembali ke terminal untuk mengambil bus ke Jogjakarta. Di terminal ini terdapat beberapa warung makan. Kami sempat makan disana sebentar, harga harga makanan disini murah. Angkutan umum dari desa Borobudur ke Jogjakarta berangkat tiap 30 atau 60 menit dan kalo tidak salah bus yang terakhir adalah jam 6.30 malam. ongkosnya sekitar 5 sampai 6 ribu rupiah. Setelah perjalanan sekitar 1 jam, maka sampai di Jogjakarta. Kalau tidak salah kami sampai di pemberhentian bus terakhir di terminal Jombor, Jogjakarta. Diingatkan oleh kondekturnya juga untuk hati hati terhadap copet. Bus diberhentikan tepat di samping halte bus trans jogja dan kami langsung menuju halte tersebut. Kami berencana untuk menginap di kawasan malioboro. Kepada petugas kami berkata ingin ke maliboro, dan diberikan tiket bus transjogja dan nomor bus yang harus dinaiki agar tidak salah. Bus ini mirip busway di Jakarta, namun ukurannya lebih kecil.
Sampai di halte bus Malioboro, kami berencana untuk mencari penginapan terlebih dahulu sebelum makan malam. Di kawasan malioboro banyak penginapan dengan tarif yang murah dimulai dari 75 ribu rupiah kamar tanpa AC. Saya berinisiatif untuk menjalani jalan sosrowijayan dan memang disana sangat banyak penginapan. Akhirnya kami memilih salah satu penginapan yang cukup baik disana. Di malioboro biasanya tukang becak juga akan menawarkan untuk mencarikan penginapan sesuai keinginan kita. Tapi dengan menjalani jalan di sekitar malioboro, dan sedikit tanya sana sini (tanya saja ke tukang parkir, atau petugas halte trans jogja atau ke para penjual disana), pasti dapat penginapan murah yang diinginkan. 
Di penginapan setelah selesai mandi dan istirahat sebentar, kami berjalan ke jalan malioboro untuk mencari makan. Kami memilih salah satu tempat lesehan disana. Harga makanan disini sebenarnya tidak tergolong murah, mungkin karena mereka tahu bahwa yang makan kebanyakan adalah turis. Namun makanannya benar benar nikmat. Satu hal yang masih tidak bisa saya nikmati adalah kehadiran pemusik jalanan yang amat sangat banyak. Selama nongkrong disitu, lebih dari 10 pemusik jalanan menghampiri, dari yang luar biasa sampai yang biasa saja mencoba menghibur pengunjung. Tapi saya malah agak sedikit terganggu.
Setelah selesai makan dan ngobrol, kami coba menjalani jalan malioboro. Sangat banyak yang jualan souvenir disini. Saya membeli sebuah kaos untuk sekaligus dipakai dalam perjalanan ini. Setelah selesai, kami kembali berjalan ke penginapan untuk istirahat.
Malioboro di malam hari

Keesokan paginya setelah selesai sarapan, kami berencana untuk pergi ke Keraton. Menuju kesana, kami sengaja menggunakan becak untuk menikmati sensasi mengelilingi jalanan di jogja. Tukang becak menawarkan untuk mengantarkan ke toko bakpia, toko toko penjualan batik dan souvenir, keraton, museum kereta, galeri lukisan. Lokasi lokasi tersebut memang berdekatan. Kalau tidak salah tarif becak 20.000,- Pengalaman kami, bapak bapak pemilik becak ini bisa dipercaya. Kita bisa menitipkan barang barang di becak dengan aman dan terjaga. Setelah diantar ke toko bakpia dan souvenir, kami diantar menuju perusahaan batik di jalan rotowijayan. Selain menjual batik, toko disini juga membuat batik. Di belakang toko biasanya terdapat dapur tempat pembuatan batik cetak. Pada saat itu sedang ada syuting dari salah satu stasiun TV. Kami pun sempat memperhatikannya beberapa saat. Setelah puas, kami berangkat ke keraton jogja.
Usaha Batik
Sesampainya di Keraton, setelah membeli karcis, kami pun masuk ke dalam. Cukup banyak wisatawan domestik maupun asing yang datang kesini. Disini banyak sekali terdapat berbagai macam benda benda peninggalan keraton. Seperti alat musik gamelan yang berusia ratusan tahun dan rajin dicuci dan hanya digunakan diacara sakral. Selain itu banyak terdapat hiasan hiasan seperti patung dari emas, jenis jenis kain batik, lukisan, guci dan berbagai keramik, serta gambar gambar keluarga keraton. Juga terdapat meja dan kursi peninggalan keraton jogja dahulu. Jika ingin mengamati dengan detail, saya pikir butuh satu hari penuh untuk menikmati keseluruhan komplek keraton dan isinya. Di dalam kompleks juga ada pertunjukan wayang. Arsitektur bangunan yang terdapat di kompleks juga beragam. Ada yang berbentuk bangunan khas Jawa dan juga bangunan mirip arsitektur eropa. Setelah puas dari sini, kami berangkat pulang ke penginapan untuk check out. Di keraton banyak yang menawarkan untuk menjadi guide ke taman sari. Ini adalah lokasi kebun istana keraton dan lokasi pemandian keraton di jaman dahulu. Selain itu juga terdapat museum kereta istana dan galeri lukisan di dekat keraton.
Keraton dan koleksinya
Koleksi keraton

Setelah keluar dari penginapan jam 12 siang, kami berencana untuk berangkat ke Candi Prambanan. Sebelumnya kami sempatkan untuk kembali makan di kawasan malioboro. Sama saja seperti di malam hari, di siang hari juga banyak terdapat pengamen berdatangan silih berganti. Satu kejadian yang sangat tidak mengenakkan adalah ketika ada seorang pengamen tidak diberikan uang oleh satu pengunjung pun di tempat makan kami, kemudian dia marah sambil pergi. Pengunjung dan pemilik warung sama sama kesal melihat tingkah lakunya. Pengamen memang sudah menjadi masalah di kawasan malioboro. Sudah semakin banyak dan tidak terkendali. Beda dengan dulu, mereka disebut musisi jalanan, karena penampilan yang rapi dan musik yang dibawakan bagus. Para musisi jalanan bekerjasama dengan pemilik warung untuk menghibur pengunjung.
Selesai makan siang, kami menuju Candi Prambanan. Kami menggunakan bus transjogja. Halte transjogja ada di kawasan malioboro. Kemudian diarahkan oleh petugas halte untuk menaiki trayek bus yang benar. Menuju Candi Prambanan merupakan tujuan halte terakhir dari bus transjogja yang kami naiki. Satu halte sebelum prambanan adalah halte bandara Adisutjipto. Busnya masuk ke terminal bandara. Karena itu, bila ke jogja menggunakan pesawat terbang, bisa langsung menaiki bus transjogja untuk melanjutkan perjalanan. Sangat mudah dan murah.

Sampai di halte transjogja, kawasan Candi Prambanan berjarak sekitar 1 km. Sebaiknya menggunakan jasa becak atau delman. Beberapa becak disini sudah menggunakan sepeda motor.
Tiket masuk Candi Prambanan adalah 30 ribu rupiah untuk turis domestik. Disini juga disediakan fasilitas penitipan barang gratis. Mirip seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan juga merupakan situs warisan dunia yang diakui UNESCO. Kompleks candi ini tertata rapi dan bersih. Pengunjung yang berjalan di kompleks candi sangat merasa nyaman menikmati keindahan area candi. Dari Candi Prambanan, disediakan fasilitas bus gratis menuju Candi Ratu Boko. Nantinya dari Candi Ratu Boko, akan diantar kembali lagi ke Candi Prambanan. Kalau tidak salah, bus terakhir jam 3 sore. Tiket masuk candi Ratu Boko sebesar 30 ribu juga. Setelah selesai berjalan di candi Prambanan, pengunjung bisa singgah di tempat penjualan souvenir. Silahkan menawar sepuasnya.
Candi Prambanan

Candi Prambanan

Kami cukup lama di Candi Prambanan menikmati sore. Ingin ke Pantai Parangtritis, tapi sepertinya sudah sore sehingga kami urungkan rencana tersebut. Akhirnya kami berencana menuju ke Dieng. Kota terdekat dari Dieng adalah Wonosobo. Untuk menuju Wonosobo dari Jogjakarta, ada satu travel yang menurut saya cukup bagus. Namanya Travel Andyni Bakti. Busnya menggunakan mobil Toyota Avanza. Dan memiliki beberapa jam keberangkatan dari pagi sampai malam hari. Cukup banyak yang menggunakan jasa travel ini. Kami saja kebagian yang jam terakhir. Harga tiketnya 45 ribu per orang, namun bisa juga dijemput ke rumah dengan menambah biaya 10 ribu rupiah.
Kantor Travel Andyni di Jogja ada di Jalan A.M. Sangaji No. 12. Telp: 0274 - 6672767 atau 0274 - 625233. Mereka melayani perjalanan Jogjakarta - Wonosobo dan sebaliknya. Untuk kantor Andyni Travel di Wonosobo, alamatnya di jalan Veteran Mb. No.11. Telepon : 0286 - 322211 atau 0286 - 323770 atau 081903866396.
Karena kami tidak tahu Wonosobo, kami meminta bantuan supir untuk mencarikan penginapan yang murah. Kemudian kami diantar ke salah satu hotel di Wonosobo. Lokasinya dekat dari alun alun wonosobo. Harga per kamar antara 150 ribu sampai 200 ribu sudah mendapat kamar yang besar dan nyaman. Suhu udara wonosobo cukup dingin sehingga tidak memerlukan AC.
Kami beristirahat di penginapan untuk keesokan paginya berangkat ke Dieng.

Setelah selesai sarapan, kami langsung check out dan menuju Dieng. Setelah bertanya kepada pegawai penginapan hotel cara ke Dieng, kami pun berangkat. Dari depan penginapan menaiki angkutan umum kota, melewati alun alun, dan diturunkan di tepi jalan tempat kami menunggu bus menuju Dieng.
Bus menuju Dieng selalu ada dari pagi sampai sore hari. Ukurannya seperti angkutan Kopaja di jakarta. Tarif busnya 10 ribu rupiah dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Perjalanan akan terus menaik karena Dieng berada di dataran tinggi. Jika bingung turun dimana, katakan saja di Penginapan Bu Jono. Ini lokasi terbaik untuk memulai perjalanan, di Jalan Raya Dieng km 27. Di jalan ini cukup banyak penginapan berbentuk homestay. Harga per kamarnya juga murah. Di jalan ini juga akan langsung terlihat lokasi penyewaan sepeda motor dengan tarif 50 ribu rupiah untuk mengelilingi beberapa objek wisata utama di Dieng.
Pertigaan Penginapan Bu Djono

Kami pun menggunakan jasa menyewa sepeda motor.
Untuk masuk dan menikmati lokasi wisata, kita diharuskan membeli tiket masuk. Kami membeli Tiket terusan seharga 20 ribu per orang dimana tiket ini merupakan tiket sekaligus untuk masuk ke lokasi Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Dieng Plateau Theatre dan Danau Telaga Warna.

Awalnya kami diantar ke lokasi Danau Telaga Warna. Danau ini sangat unik karena berwarna hijau. Danau ini terlihat tenang tetapi di beberapa titik terdapat gelembung gelembung udara ke atas permukaan air yang merupakan gas dari bawah tanah.
 Di sekitar danau ini masih sangat teduh karena banyak pepohonan rindang.
Selain Telaga warna, didekatnya terdapat danau Telaga Pengilon. Selain itu terdapat banyak terdapat goa seperti Batu tulis dengan bahasa sansekerta, Goa Semar, Goa Sumur, Goa Pengantin, dan Goa Jaran. Kami menjalani lokasi tersebut satu persatu. Goa tersebut tidak besar, hanya seperti sebuah ruangan kecil tempat dimana orang orang sakti jaman dahulu bersemedi. Namun lokasi beberapa goa saat ini sudah dibuat gerbang dan ditutup untuk menghindari pengunjung yang melakukan hal hal yang dapat merusak situs tersebut. Namun jika ada pengunjung yang ingin berdoa atau melakukan ritual, bisa memohon agar dibukakan kunci gerbang tersebut.
Danau Telaga Warna

Goa dan Telaga Pengilon

Setelah puas mengelilingi area telaga warna, kami diantar ke Dieng Plateau Theatre. Ini merupakan sebuah bangunan seperti bioskop tempat pemutaran film bagaimana asal mula terjadinya Dataran Tinggi Dieng. Sesampai disana, sambil menunggu pemutaran film, di dekat gedung tersebut terdapat beberapa penjual makanan. Ternyata yang kebanyakan dijual adalah kentang goreng dan jamur goreng. Rasa Kentang gorengnya luar biasa nikmat. Mengalahkan kentang goreng buatan restoran amerika, menurut saya ya... Dieng memang merupakan salah satu penghasil kentang terbesar di Indonesia.
Di Theatre, kami menonton film dokumenter yang menjelaskan mengenai bagaimana Dieng terbentuk, apa potensi alam yang terdapat di Dieng, dan kehidupan budaya penduduk Dieng. Selain itu diceritakan pula bencana yang pernah terjadi di Dieng. Salah satu bencana yang pernah terjadi adalah ketika penduduk satu kampung di Dieng tewas karena keracunan gas beracun yang keluar dari perut bumi. Film dokumenter ini sangat menambah pengetahuan kami.
Dieng Plateau Theatre

Setelah puas dari Theatre, oleh ojek sepeda motor kami diantar ke lokasi Kawah Sikidang. Area ini merupakan tempat dimana gas dari perut bumi keluar dan memunculkan kubangan kubangan air mendidih dan memunculkan bau belerang yang sangat pekat. Disana disarankan untuk menggunakan kain penutup hidung. Disana juga terdapat penjual yang menjual masker. Kawah kawah ini sebenarnya mengingatkan saya terhadap kawah sejenis di daerah Sipoholon Tarutung, Sumatera Utara. Namun di Sipoholon, airnya dialirkan ke bak bak penampungan kamar mandi untuk digunakan menjadi pemandian air panas. Kalau di Kawah Sikidang sepertinya airnya tidak cukup banyak. Dari kejauhan kita akan melihat pipa pipa berukuran besar yang merupakan pipa pembangkit listrik tenaga panas bumi. Gas dari dalam bumi dialirkan melalui pipa tersebut untuk memutar turbin. Ini benar benar pembangkit listrik yang sangat ramah lingkungan. Di area Kawah ini juga banyak penjual souvenir dan penjual hasil pertanian di Dieng seperti sayur sayuran dan buah buahan.
Kawah Sikidang

Selepas dari sini, kami diantar ke lokasi terakhir yaitu Kompleks Candi Arjuna. Dari lokasi parkiran, menuju kompleks candi Arjuna harus berjalan ke lembah berjarak sekitar 300- 500 meter. Namun sebelum itu, ada baiknya berkunjung ke museum yang dekat dengan lokasi parkiran tersebut. Namanya Museum Dieng Kailasa. Harga tiket masuknya 5 ribu per orang. Museumnya memang tidak terlalu besar, namun di dalamnya terdapat arca batu peninggalan dari candi di dieng. Selain itu terdapat juga jenis jenis bebatuan yang terdapat di dieng. Selain itu banyak terdapat gambar gambar yang menjelaskan kegiatan budaya di Dieng.
Di sekitar museum ini terdapat taman yang terdapat banyak bunga bunga yang indah. Lokasinya yang tinggi membuat kita bisa memandang sampai di kejauhan. Terlihat juga kompleks candi arjuna di kejauhan. Lokasi kompleks candi arjuna ini memang benar benar berada di tengah tengah lembah. Dia dikelilingi oleh pebukitan di kejauhan.
Museum Dieng Kailasa
Dari museum, kami menuju candi gatot kaca masih di dekat lokasi parkir. Ukuran candinya kecil.
Setelah itu kami akhirnya menuju kompleks candi Arjuna. Jalan setapak yang dibuat cukup baik dimana di kiri kanan jalan banyak pepohonan yang sengaja ditanam. Di kompleks ini terdapat 5 buah candi (Pendawa Lima). Ukuran candi disini memang kecil (jangan dibayangkan seperti prambanan), namun candi disini merupakan candi Hindu yang konon tertua di Jawa. Sebenarnya di daerah ini terdapat beberapa candi lagi, namun belum dilakukan rekonstruksi dan hanya ada fondasi candi. Setiap tahunnya di lokasi candi ini diadakan acara Dieng Culture Festival. Duduk disini menikmati keindahan alam dan pebukitan di sekitar candi sangat menenangkan.
Kompleks Candi Arjuna
Puas dari lokasi candi ini, kami kembali ke parkiran dan diantarkan oleh ojek kembali ke pangkalan ojek di dekat penginapan bu jono. Kami diingatkan oleh tukang ojek bahwa kami harus segera ke terminal wonosobo bila ingin langsung ke Jakarta. Loket terakhir buka sekitar jam 6 sore. Namun kami menyempatkan diri makan dulu di salah satu warung makan di Dieng. Harga makanan di Dieng tergolong murah.

Beberapa saat kami menunggu bus yang akan membawa kami kembali ke Wonosobo. Setelah satu jam perjalanan, kami diturunkan di kota Wonosobo. Sudah ada bus lain yang menunggu yang rutenya menuju terminal Wonosobo. Akhirnya kami tiba di terminal Wonosobo sekitar jam 5 sore. Ternyata benar yang dikatakan ojek di Dieng. Apalagi karena hari minggu, tiket bus tujuan Jakarta sudah pada habis. Ada satu bus Ekonomi tujuan Lebak Bulus Jakarta namun kami enggan menaikinya melihat kondisi bus. Setelah mengobrol dan diarahkan oleh petugas tiket, akhirnya kami naik bus tujuan Wonosobo ke Cileunyi Bandung. Disana nanti diturunkan untuk mengambil bus menuju Jakarta. Ternyata banyak juga penumpang yang seperti kami. Dari Wonosobo, kami naik bus Sinar Jaya - DMI. Kondisi busnya bagus dan nyaman. Bahkan kami  sudah tertidur lelap ketika dibangunkan sekitar jam setengah empat pagi untuk turun di Cileunyi.
Di Cileunyi ternyata sudah banyak orang yang menunggu bus ke Jakarta bahkan rela berdiri di bus. Kami sengaja menunggu bus yang kosong agar bisa tidur. Akhirnya lewat juga bus Primajasa. Ongkos ke Jakarta 26 ribu. Bus ini berakhir di pangkalan khusus bus Primajasa di Cawang dekat UKI. Kami tiba di jakarta sekitar jam setengah sembilan pagi karena sempat macet di jalan tol.
Akhirnya perjalanan ini pun berakhir sudah.

Monday, October 7, 2013

Menyelam di area Pulau Sangiang

Diving di area pulau Sangiang ini saya lakukan bersama beberapa teman yang sebelumnya mengambil sertifikasi diving open water. Pulau Sangiang sendiri lokasinya berada di selat sunda diapit oleh pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Berikut lokasinya saya ambil dari http://www.bentengindonesia.org/bentengpict/221/221_SANGIANG_ISLAND_1a.jpg
Lokasi Pulau Sangiang
Perjalanan hanya sebentar saja. Pergi sabtu pagi dan sudah kembali tiba di jakarta sabtu sore.
Pagi pagi subuh jam setengah enam pagi kami berangkat dari Jakarta menuju pelabuhan anyer. Kami sengaja berangkat pagi agar tidak macet. Dan satu lagi, diving siang hari di sangiang sudah kurang bagus karena visibility yang sangat rendah. Banyak butiran butiran kotoran yang melayang layang di dalam air sehingga air kurang jernih dan menghalangi pemandangan bawah laut.

Kami tiba di dermaga anyer sekitar jam 8 pagi. Kemudian kami berkemas menyiapkan peralatan, tanki udara, masker, fins, BCD, regulator, weight belt, dll. Sementara untuk wet suit saya ganti di kapal saja. Tak lupa kami membeli makanan sarapan dari warung terdekat. Perjalanan menuju area penyelaman sekitar 60 menit - 75 menit menggunakan kapal kayu yang disewa.
Kapal Kayu yang digunakan
Saya dan beberapa teman sarapan di atas kapal. Ombaknya benar benar deras. Perut saya langsung mual. Baru sekitar 10 menit setelah selesai makan, saya langsung muntah. Walau muntah, perut ini belum juga lega. Masih ada yang mengganjal. Teman mengatakan itu akibat saya tidak mencicipi air laut dulu sesaat sebelum mengarungi lautan. Awalnya saya agak ragu terjun. Tapi akhirnya turun juga.
Penyelaman pertama kami di titik yang bernama Tanjung Bajo. Ombak laut tetap keras, mengombang ambingkan kami semua. Karena ombak yang lumayan deras, kami memasang BCD di permukaan air, bukan di kapal. Sialnya bagi saya, begitu masuk laut, mencicipi air laut yang begitu asin, ditambah dengan rasa mual yang masih ada, semakin membuat saya bertambah mual dan akhirnya muntah lagi. Sialll.... Beberapa teman sudah mulai masuk ke bawah permukaan laut, sementara saya ditemani oleh seorang yang lain masih mengapung saja. Saya masih menetralkan kondisi dulu. Setelah minum sebotol air mineral dingin, barulah perasaan lebih tenang. Untuk melawan asinnya air laut, memang yang paling bagus ya minum air tawar. Kami berdua masuk ke dalam. Melihat keindahan bawah laut sambil mengejar teman yang sudah duluan turun. Kondisi di dalam ternyata berarus. Hal ini tidak saya alami ketika pertama kali menyelam di kepulauan seribu. Arusnya begitu kuat sehingga kita tidak perlu lagi mengayuhkan kaki untuk bergerak. Kita dibawa oleh arus. Harus hati hati juga agar tidak terpisah dari teman karena terlalu membiarkan diri dibawa oleh arus. Cukup banyak terumbu karang di perairan ini. Ikan ikan hias pun sangat banyak. Ikan berbagai warna muncul silih berganti, warna oranye (nemo), biru, kuning, dll. Ada yang berenang bergerombol dan beriringan. Kami juga bertemu dengan segerombolan ikan barakuda. Ubur ubur pun tak ketinggalan. Terkadang berpapasan dengan ubur ubur yang harus dihindari. Pemandangan bawah lautnya sangat indah. Memang kami tidak menemukan hiu, penyu, ataupun pari. Tapi ini juga sudah puas. 
Alat pengukur tangki udara saya juga menunjukkan bahwa udara sudah hampir habis. Tak tau kenapa sepertinya saya cukup kuat menyedot udara tangki. Mungkin karena barusan muntah dan mual sehingga lebih membutuhkan banyak udara ketika bernafas.
Akhirnya kami naik ke permukaan. Begitu naik ke permukaan, langsung disambut dengan ombak yang cukup kuat yang mengombang ambingkan kami. Kru kapal kami melemparkan tali untuk membantu menarik kami ke kapal. Entah kenapa selama dalam proses dari permukaan sampai naik ke kapal, rasa mual muncul lagi. Begitu naik di atas kapal, saya muntah lagi. Tapi muntahnya tidak mengeluarkan apa apa karena mungkin yang ada di perut sudah habis. Hanya menyisakan rasa asam dan sedikit pahit. Teman teman yang melihat saya hanya tersenyum saja. Ya... tiap orang biasanya pernah mendapatkan situasi seperti ini.
Setelah penyelaman pertama selesai, kami menuju pulau sangiang. Kami menepi ke pulau dan makan siang di pulau sangiang. Kami tidak mengeksplor pulau karena fokus hanya menyelam.

Perjalanan di kapal
Setelah selesai beritirahat, kami menuju titik kedua yang bernama Legon Waru. Derasnya arus sedikit berkurang di titik ini. Di kedalaman, kami juga melihat indahnya terumbu karang dan berbagai ikan berenang dan melintasi kami. Arus di dalam juga masih cukup kuat untuk menggerakkan kami. Sangat nikmat sehingga kita tidak sadar sudah di kedalaman 20 meter. Kalau saja saya tidak melihat dive comp, mungkin saya akan terbawa suasana untuk masuk terus ke kedalaman 30 meter. Hal yang sama juga saya rasakan di titik pertama sebelumnya. Namun karena sudah semakin siang, visibility di dalam air berkurang. Hal ini karena kotoran seperti debu beterbangan di dalam air sehingga menghalangi penglihatan. Di penyelaman kedua ini juga saya bingung kenapa saya begitu cepatnya menghabiskan udara di tangki. Namun karena ketua tim sudah menunjukkan sebentar lagi akan naik, dan juga karena terumbu karang yang indah di kedalaman sekitar 9-12 meter, saya tetap bertahan. Pada akhirnya ketika kami naik, sisa udara saya hanya tinggal sedikit lagi. Sebenarnya kurang bagus juga cara seperti ini.Begitu naik ombak juga masih mengombang ambingkan kami. Ombak di perairan ini memang tidak pernah tenang. Kami pun kembali ke kapal. Perjalanan kembali ke dermaga anyer memakan waktu hampir satu setengah jam. Sampai di dermaga anyer, kami membersihkan diri di salah satu rumah penduduk yang sudah dikenal oleh ketua rombongan kami. Begitulah memang kondisinya. Tempat penyewaan peralatan menyelam saja tidak ada. Jadi semuanya dibawa atau disewa dari Jakarta. Akhirnya kami kembali ke Jakarta memakan waktu lebih dari 2 jam karena jalanan sudah macet. Demikianlah perjalanan singkat kali ini.

Foto foto underwater masih belum ada karena masih di kamera teman :)

Sekitar hampir dua minggu setelah kami diving di Sangiang, sekitar bulan Juli 2013 kami mendengar sebuah Kapal Motor yang membawa diver dari Jakarta dan juga dari luar negeri dihantam ombak ketika bersandar di dekat pulau Sangiang ini. Mereka beberapa hari menyelam termasuk nite dive dan tidur di kapal. Kapal kayu yang jauh lebih besar dihantam oleh ombak besar. Kapal tidak diketemukan sepertinya hancur. Seluruh penumpang dan kru kapal terjun ke perairan tersebut diombang ambingkan arus laut. Keesokan harinya setelah dilakukan upaya penyelamatan, dua orang tidak diketemukan, seorang kru dan seorang lagi diver dari jakarta. Di hari terakhir pencarian, diketemukan jenazah diver tersebut, sementara krunya saya kurang tau apakah sudah ditemukan atau tidak karena jangka waktu pencarian oleh tim sar sudah selesai.
Saya kurang tau kenapa ombak di perairan selat sunda ini begitu dasyatnya. Apakah karena lokasinya yang diapit oleh dua pulau besar Jawa dan Sumatera atau karena tidak banyak pulau pulau di sekitar Sangiang sehingga tidak ada pulau yang bisa berfungsi sebagai pemecah ombak. Kejadian ini mengingatkan saya untuk tidak memaksakan perjalanan bila alam sedang tidak bersahabat.
Saya juga teringat dengan jembatan selat sunda yang rencananya akan dibangun menghubungkan jawa dan sumatera akan melalui pulau sangiang. Saya tidak bisa membayangkan bila nantinya pembangunan jembatan tersebut akan merusak habitat ikan, terumbu karang, binatang dan cagar alam yang ada di pulau sangiang.

Saturday, October 5, 2013

Perjalanan ke Baduy

Kali ini saya bersama teman teman sekantor dan juga teman teman dari teman sekantor (bingung bacanya ya...) melakukan perjalanan ke Baduy. Sebenarnya kata Baduy ini merujuk ke gunung Baduy atau sungai Baduy, namun orang orang (pengunjung) sering menyebutnya daerah Baduy atau orang Baduy. Padahal penduduk Baduy sendiri lebih menyukai disebut sebagai urang kanekes yang artinya orang Kanekes. Kanekes sendiri merupakan nama wilayah mereka.
Nah.. penduduk Kanekes sebenarnya merupakan subetnis Sunda. Menurut penjelasan salah seorang penduduk Baduy di tempat saya dan teman teman menginap, Sunda terbagi dua yaitu Priangan dan Wiwitan. Dan penduduk yang mendiami gunung Baduy ini adalah etnis wiwitan. Dan menurut mereka, sub etnis wiwitan lebih tua dibanding dengan priangan. Etnis priangan adalah orang orang bersuku sunda yang saat ini banyak bermukim di Bandung dan sekitarnya. Begitulah kira kira penjelasan yang dapat saya tangkap.

Perjalanan dari Jakarta kami mulai hari Jumat malam. Rencananya kami start jam 7 malam, namun karena satu dan lain hal, molor menjadi jam setengah sembilan malam. Kami beriringan menggunakan sekitar 6 mobil. Jauhnya perjalanan menuju desa ciboleger sebagai desa Baduy Luar pertama mungkin sekitar 120 - 130 km. Namun perjalanan memakan waktu 5-6 jam karena jalanan yang berkualitas buruk terutama setelah melewati Rangkasbitung menuju desa Ciboleger.
Perjalanan kami juga agak lama karena sekitar jam 11 malam ketika di daerah Serang tepatnya di jalan Raya Pandeglang - Baros, banyak terdapat warung durian yang buka 24 jam. Kami pun singgah di salah satu pondok disana yang bernama Durian Jatuhan Haji Arif - DJHA. Yang enaknya, mereka juga menyediakan tempat lesehan untuk rebahan dan gratis. Jadi misalnya kita lelah dalam perjalanan malam dan ingin rebahan sampai pagi, mereka menyediakannya. Sayapun yang lebih senang dengan durian yang rasanya lebih pahit, langsung sikat... hap hap hap...durian Indonesia memang mantapp...
Makan durian di DJHA
Setelah puas makan durian, kami melanjutkan perjalanan malam. Sempat kami salah arah, namun akhirnya para driver menyadarinya. Kondisi jalanan banyak lubang, dan terkadang sama sekali tidak beraspal. Ini yang membuat sangat tidak nyaman di dalam mobil padahal sudah mulai mengantuk.
Akhirnya kami tiba di Desa ciboleger sekitar jam 2an pagi. Di desa Ciboleger ini gerbang masuk menuju desa baduy luar pertama. Masih terdapat minimarket dan sekolah dan juga mesjid. Setelah berjalan sekitar 200 meter, tepat di gerbang pembatas, disitulah mulai terlihat peradaban yang lain dari umumnya. Itulah desa pertama Baduy Luar. Mereka tidak menggunakan listrik. Sementara beberapa meter dikejauhan, terlihat rumah menggunakan listrik dan lampu lampu bercahaya. Kami bermalam di desa ini di rumah penduduk. Keesokan paginya, kami bangun dan menyiapkan diri untuk berjalan menuju desa Baduy Dalam. Perjalanan akan memakan waktu 4-5 jam. Kami sarapan sesuai dengan kebiasaan setempat. Kami makan bersama sama di daun pisang yang panjang. Jadi di atas daun pisang, diletakaan nasi dan lauknya, dan kami makan berjejeran di tepi daun pisang tersebut. Penduduk Baduy luar, selain bercocok tanam, mereka banyak menjual cendera mata ke pengunjung. Kebanyakan adalah kain hasil tenunan sendiri, jahe merah yang sudah jadi bubuk, madu, dan souvenir lainnya seperti gantungan kunci, kaos dan kemeja dengan motif khas Baduy.
Sarapan
Desa pertama Baduy Luar - Ciboleger
 Setelah selesai sarapan, kamipun berkemas untuk segera berjalan. Awalnya kami permisi dulu ke kepala desa setempat yaitu Bapak Jaro Dainah. Beliau mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kunjungan kami. Beliau juga mengatakan bahwa beliau mungkin adalah kepala desa dengan penduduk terbanyak sekitar 10 ribuan (total penduduk baduy luar dan baduy dalam). Beliau juga menjamin bahwa tidak pernah ada kriminalitas di daerah Baduy. Tidak ada satupun warga baduy yang masuk penjara. Namun kami dipesankan juga untuk menghargai dan menghormati adat setempat. Mendengar hal itu, sebenarnya hati saya malu. Mereka yang tidak pernah menuntut apa apa dari negara ini, sangat mencintai tempat kediamannya. Tidak seperti Jakarta yang diisi orang orang yang katanya cerdas, pintar, dan banyak menuntut, namun banyak yang tak bermoral.
Kepala desa
Setelah selesai mengobrol dengan Pak Jaro, kamipun berangkat menuju desa Cibeo sebagai desa terakhir Baduy dalam. Awalnya kami melalui banyak perkampungan. Dari satu kampung ke kampung lain. Begitu seterusnya. Ini masih daerah perkampungan Baduy luar. Guide kami adalah orang dari Baduy dalam dan juga baduy luar.
Perkampungan di Baduy Luar
 Di salah satu desa, kami melihat bagaimana seorang nenek dengan alat tradisionalnya mengubah kapas menjadi benang. Kelihatannya mudah, tapi ketika teman teman mencobanya, setiap kapasnya ditarik, pasti putus. Namun nenek tersebut, bisa menarik kapas tersebut, menggulungnya dengan alat tradisionalnya, sampai kapasnya habis menjadi benang tidak putus putus. Nah.. benang inilah yang akan ditenun menjadi kain dan menjadi baju orang Baduy. Benar benar sangat alami. Mereka benar benar hidup dari alam, oleh alam, dan untuk alam. 

Mengubah benang menjadi kapas
Kami kemudian beristirahat sambil makan siang nasi bungkus yang sudah kami siapkan sebelumnya.
Di tengah perjalanan, seorang guide kami orang baduy dalam (saya lupa namanya), membawa air nira yang baru saja diambilnya dari pohon. Kamipun mencobanya. Sedapnya bukan main. Nira asli benar benar nikmat. Minuman bersoda bermerek apapun kalah jauh. Nira ini masih sangat steril karena langsung dari pohon. Di perjalanan juga banyak pohon durian, tapi sayang belum waktunya berbuah. Kami juga melewati beberapa aliran sungai selama dalam perjalanan.
Perkampungan selama dalam perjalanan
Dan akhirnya kami akan menyeberangi sebuah jembatan bambu yang lumayan panjang. Ini menjadi pembatas antara baduy luar dan baduy dalam. Salah satu ketentuan tidak tertulis adalah yang boleh memasuki kawasan baduy dalam adalah ras asli orang Indonesia (ras Australoid kalo ga salah). Jadi ras mongoloid seperti saudara kita orang Indonesia yang bersuku Tionghoa dilarang memasuki kawasan tersebut. Namun pada saat itu, guide kami orang baduy mengijinkan teman kami yang dikategorikan sebagai ras mongoloid untuk memasuki kawasan baduy dalam. Kami pun berterima kasih atas hal tersebut karena tidak sering sering mereka mengijinkannya. Beberapa teman kami tidak melewati jembatan, tetapi menyeberangi langsung sungai. Sepertinya lebih enak bermain air di sungai.Aturan yang penting di Baduy dalam juga adalah tidak diperkenankan untuk mengambil foto. Dan sebaiknya handphone dimatikan saja, toh sinyal juga tidak ada.
Jembatan ke Baduy Dalam
Kemudian perjalanan kami lanjutkan kembali. Cukup banyak perbukitan yang menanjak harus kami lewati. Saya sendiri tidak menyangka akan secapek itu. Hebatnya orang orang asli Baduy tersebut tidak ada rasa letih, keringatpun tak ada. Mereka memang sudah biasa. Dan mereka tidak menggunakan alas kaki sesuai dengan aturan adat mereka.

Akhirnya kami sampai juga di Desa Cibeo sekitar jam 3 sore. Saya dan beberapa teman menginap di salah satu rumah penduduk. Teman saya mencoba mengajak mengobrol ibu dan anak pemilik rumah. Ketika teman saya bertanya dimana suaminya, si ibu menjawab sedang ke jakarta sudah 2 hari untuk kunjungan balasan. Ya, begitulah mereka. Mereka sangat senang dikunjungi, dan bila kita memberi alamat kita, mereka akan mendatangi kita sebagai kunjungan balasan. Mereka akan ke rumah kita dengan BERJALAN KAKI TANPA ALAS KAKI. Itu sesuai dengan peraturan adat mereka. Mereka tidak minta apa apa di kunjungan balasan mereka. Itu sebagai tanda terima kasih mereka sudah dikunjungi sebelumnya. Biasanya cara mereka ke jakarta berjalan kaki adalah dengan mengikuti rel kereta api.
Di rumah kami disuguhi air minum. Gelasnya terbuat dari potongan bambu. Tempat airnya kendi tanah liat. Rumahnya dari anyaman bambu. Semuanya serba alam.
Setelah beristirahat, kami menuju salah satu rumah tempat banyak terdapat alat musik angklung dan gendang. Disinilah biasanya anak anak baduy bermain musik. Sangat enak didengar. Musiknya khas sunda. Mereka belajar sendiri dan angklungnya juga penduduk setempat yang membuat sendiri.
Kemudian saya dan beberapa teman mandi di sungai di sore hari. Di sungai sudah ada lokasi yang ditentukan dimana tempat wanita mandi, laki laki mandi, dan juga tempat buang air. Sesuai aturan adat, tidak diperbolehkan menggunakan sabun,, shampo, odol dan bahan lain yang mengandung bahan kimia. Di dekat kami ada seorang bapak penduduk asli yang mandi. Mereka mandi hanya menggosokkan badan dengan tangan saja. Dan bajunya dikucek kucek dengan air. Tidak menggunakan deterjen atau hal lain yang dapat mencemari air sungai. Sangat menyatu dengan alam. Kami sangat menikmati berendam di sungai sampai cukup lama, sampai ada ular kecil yang mendekati salah seorang teman kami. Karena itulah kami naik, mungkin peringatan juga untuk kami bahwa waktu mandi sudah habis, saatnya ular yang mandi...hehehe....

Setelah selesai mandi kami kebanyakan duduk duduk di bebatuan di lapangan terbuka seperti di tengah kampung tersebut. Di kejauhan terlihat beberapa rumah yang katanya didiami oleh tetua adat dan tidak boleh didekati. Kami juga berkeliling kampung dan ternyata sudah ada penjual snack (bukan penduduk setempat). Beberapa anak anak kecil baduy dalam membeli snack disitu. Dijual juga minuman minuman bersoda dan juga mie instant. Ini sudah salah satu bentuk keterbukaan baduy dalam. Sepintas saya melihat orang Baduy inilah yang hidup menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam. Malam mulai menjelang, dan perkampungan benar benar gelap. Penduduk baduy dalam tidak menggunakan senter, hanya lampu api yang digantung di dalam rumah. Namun pengunjung masih diijinkan untuk menggunakan senter.

Setelah bersenda gurau di lapangan, akhirnya terdengar suara bahwa makan malam sudah siap. Kami pun makan malam tetap dengan gaya Baduy di atas daun pisang. Setelah makan, dan memberesi sisa makanan, kami kebanyakan berkumpul di salah satu rumah, mengobrol dengan Bapak yang menceritakan tentang riwayat Baduy. Mereka sambil memasak dan menyuguhkan jahe merah untuk kami. Enaknya bukan main jahe merah tersebut. Hangat. Pantas saja walaupun mereka tidak minum teh atau kopi, tapi orang Baduy tetap sehat dengan minum jahe merah tersebut.
Bapak tersebut menceritakan asal muasal Baduy (yang sudah disinggung di awal cerita), namun sampai saat ini tetap belum diketahui awal sekali bermulanya sub etnis sunda wiwitan. Bapak tersebut juga bercerita tentang beliau sudah sering ikut kejuaraan bermain angklung mewakili kabupaten atau sekedar bermain angklung di pertunjukan. Beliau bercerita tentang agama mereka Sunda wiwitan yang di Indonesia dimasukkan sebagai aliran kepercayaan. Mengenai hal ini, saya pribadi sebenarnya sudah protes di dalam hati saya kepada bangsa Indonesia. Kenapa aliran aliran kepercayaan yang asli Indonesia tidak dianggap sebagai agama di negaranya sendiri. Bahkan agama yang diakui di Indonesia, adalah agama import, dibawa dari luar negeri. Mirip seperti Ugamo Malim yang merupakan aliran kepercayaan orang Batak sebelum masuknya agama. Aliran aliran kepercayaan ini sudah ada sebelum Indonesia ada. Tetapi mereka dipinggirkan oleh negaranya sendiri (berpikir secara kebangsaan). Itulah pendapat saya, bisa benar bisa juga tidak.
Setelah selesai ngobrol, kamipun akhirnya kembali ke rumah tempat kami beristirahat. Suhu udara di baduy dalam jauh lebih dingin dibandingkan dengan di baduy luar. Untunglah kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya agar tidur lebih hangat dan nyaman. 

Keesokan paginya kami bangun. Tidak banyak aktifitas yang kami lakukan. Setelah sarapan, kami berkemas untuk pulang. Saya sempatkan mandi di sungai dengan beberapa teman saya.
Teman saya sempat berkeliling kampung. Terdapat beberapa wanita menumbuk padi tidak mengenakan pakaian atasan. Topless. Pakaian atasan sepertinya kadang dipakai dan kadang dilepas. Mereka memang penghasil padi. Mereka memiliki rumah rumah tempat untuk menyimpan padi. Warga Baduy sepertinya tidak akan pernah mengalami bencana kelaparan. 
Sesaat sebelum pulang, terdapat beberapa penduduk menawarkan souvenir yang dijual kepada kami. Setau saya, dulu mereka sebenarnya menolak untuk menerima uang, tapi sekarang sudah mulai menerima uang. Mereka juga menawarkan madu hutan, gantungan kunci, kain tenun, jahe merah, dll. Sebenarnya barang barang ini juga dijual di baduy luar. Bila ingin membeli dan terasa agak mahal, tawar saja tapi dengan halus.

Setelah selesai berkemas, akhirnya kami berangkat pulang. Kali ini melalui jalur timur. Kemarin kami melalui jalur barat. Tetap saja akan melalui beberapa perkampungan dan di ujungnya kami akan kembali ke desa Ciboleger. Pulang bukan berarti jalanan menurun. Tetap banyak perbukitan yang harus kami lalui. Menanjak dan kemudian menurun, berulang terus menerus. Ditambah panas terik, cukup membuat letih. Setelah berjalan panjang, kami istirahat sebentar di sebuah danau kecil. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan seorang yang sudah sangat tua menyapa kami. Guide kami mengatakan Bapak tersebut sudah berumur 100 tahun dan sudah mulai pikun. Bapak tersebut menyapa kami dan berbicara dalam bahasa sunda sementara saya tidak mengerti maksudnya.
Perjalanan pulang

Istirahat di danau
Pada akhirnya kami sampai di desa Ciboleger mungkin sekitar jam 12 siang. Beberapa orang membersihkan diri dan yang lain rebahan. Banyak juga yang membeli souvenir. Saya yang sebelum berangkat ke baduy dalam membeli ikat kepala khas baduy, kali ini membeli beberapa botol madu untuk oleh oleh. Pada akhirnya saya menyesal karena tidak membeli jahe merah. Kalau harga kain tenun dan sovenir seperti gantungan kunci bisa ditawar, tapi sepertinya madu dan jahe merah sudah harga pas.
Tenunan dan Souvenir
Akhirnya kami berangkat pulang sekitar hampir jam 2 siang. Kami kemudian makan sore di daerah Rangkasbitung sekitar jam setengah lima sore, dan tiba kembali di base camp di jakarta jam 8 malam.
Pintu masuk Desa Ciboleger
Perjalanan ini membuat saya semakin mengenal salah satu budaya di Indonesia.
Warga di Baduy dalam dan baduy luar lebih mengikuti peraturan adat dimana peraturan adatnya lebih mengutamakan keharmonisan hidup dengan alam. Tetua adat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Pakaian orang baduy luar didominasi warna hitam hitam sementara baduy dalam putih putih. Aktifitas mereka kebanyakan diisi dengan bercocok tanam. Namun ada juga aturan tentang tanaman apa yang bisa ditanam dan mana yang tidak. Binatang yang dipelihara mereka juga hanya ayam yang saya lihat. Apapun aturannya, sepertinya mengarah kepada bagaimana agar mereka tidak merusak alam dan dapat hidup damai berdampingan dengan alam.

NB : Foto diambil dari kamera teman teman seperjalanan...

Saturday, August 17, 2013

Pendakian ke Gunung Semeru

Mendaki ke gunung Semeru saya jalani sekitar bulan Mei 2013 kemarin. Awalnya ini adalah rencana perjalanan dari grup traveller di kantor saya. Ternyata peminatnya membludak (termasuk saya). Lebih dari 30an orang. Dan tanpa bermaksud apa apa, banyak juga yang belum pernah naik gunung (pengalaman saya naik gunung juga tidak banyak sih..). Dalam hati saya bertanya, apakah perjalanan serombongan besar ini bisa berjalan sukses? Yah, katanya banyak yang ingin naik gunung Semeru setelah menonton film 5 cm. Katanya pemandangan alam di film 5cm menakjubkan. Saya sendiri nonton film 5cm nya setelah naik gunung semeru, dan untunglah demikian sehingga saya sudah mengetahui dulu kondisi nyata Semeru dibanding dengan banyaknya trik trik kamera dalam film tersebut. Karena topik ini bukan resensi film, maka kita kembali ke topik perjalanan. hehehe....

Kawasan Gunung Semeru adalah bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Untuk mendaki gunung ini, harus mendaftar terlebih dahulu. Pendaftaran dilakukan melalui webnya di www.bromotenggersemeru.com. Segala syarat syaratnya juga tertera disana. Tiket masuk adalah 10 ribu rupiah per orang dimana terdiri atas rp.2500 untuk biaya tiket masuk, 2500 untuk asuransi, dan 5000 untuk biaya membawa kamera (termasuk kamera handphone).

Perjalanan ini dimulai hari selasa malam dari jakarta dan kembali sabtu malam di jakarta.
Hari Selasa malam, kami beramai ramai naik kereta eksekutif gajayana dari stasiun gambir menuju malang. Tiketku harganya Rp.420 ribu. Buset dah.. mahalnyoo... Padahal tiket pulangku sabtu malam dari surabaya dengan citilink harganya Rp. 370 ribu sajo... Pelayanan kereta api memuaskan. Namanya juga kereta eksekutif. Reformasi KAI yang dilakukan dirut KAI Pak Ignasius Jonan sepertinya berhasil. Namun harga makanan di kereta agak mahal, mirip mirip harga makanan di pesawat. hehehe...

Akhirnya sampai di Stasiun malang sekitar jam 9 pagi. Cuaca tidak terlalu cerah tapi juga tidak mendung. Lebih tepatnya berawan. Sudah ada yang menyiapkan empat buah angkutan umum kosong untuk rombongan besar ini. Dari sini kami menuju Tumpang di kabupaten Malang untuk mempersiapkan segala hal dan juga makan siang. Di Tumpang ini juga kami akan mulai perjalanan menuju Desa Ranu Pani menggunakan Jeep. Sepertinya semua sudah disiapkan oleh Ketua rombongan kami. Kami bisa berkemas, makan, dan bersantai sejenak di salah satu rumah di desa Tumpang. Pemilik rumah ini sekaligus sebagai pemilik Jeep yang akan mengantar kami.

Perjalanan dari Tumpang menuju desa Ranu Pani memakan waktu hampir dua jam. Bukan karena jauhnya. tapi karena tracknya yang terus menaik dan menaik, tikungannya juga tajam dan beberapa kondisi jalan yang kurang baik. Namun pada saat kami melalui jalan tersebut, proses pengaspalan jalan sedang berlangsung di beberapa lokasi. Di tengah perjalanan, kami berhenti sebentar di pertigaan jalan menuju ke Bromo. Yah, kita bisa menuju Bromo melalui jalanan yang terus menurun menuju padang rumput Bromo yang terlihat jauh di bawah sana. Pemandangannya sangat indah... biar foto yang berbicara :) mirip seperti di film 5cm lah...
Pertigaan menuju Bromo dan view-nya
Sampai di Ranu Pani (ketinggian 2.200 m), kami kembali berkemas. Inilah kalo rombongan besar, berkemas dan mengkoordinir semuanya memakan waktu lama. Sekalian juga berkoordinasi dengan para porter. ya, kami membawa porter sekalian juga mereka yang masak. Jadi di tas cukup membawa kebutuhan pribadi dan air minum saja.

Akhirnya perjalanan dimulai sekitar jam 2 sore setelah sebelumnya diawali dengan doa yang khusuk. Saya memang lebih khusuk berdoa bila dalam perjalanan hiking, diving, atau perjalanan ke daerah daerah wisata. Padahal kalo doa syafaat di gereja kadang saya malah melamun. Maafkan saya ya Bapak dan Ibu Pendeta... :) Aura keindahan dan misteri alam membuat saya terasa dekat dengan Tuhan Sang Pencipta...

Di desa Ranu Pani terdapat sebuah danau kecil yang bernama Ranu Pani. Kecil kecil gitu sudah makan korban juga. Ceritanya, pernah seorang anak tenggelam dan sampai sekarang jasadnya tidak diketemukan. Setelah menjalani jalanan beraspal mungkin sekitar 1 km, mulai masuk ke area hutan. Perjalanan ini normalnya sekitar 4 jam-an. Kita akan melalui 4 pos peristirahatan. Ketika kami melintas, hanya pos 3 yang atapnya rubuh, selainnya, masih utuh dalam kondisi baik. Dari awal pintu gerbang ke pos1 akan memakan waktu hampir 1 jam, dari pos 1 ke pos 2 sekitar 45 menit, dari pos 2 ke pos 3 inilah jarak yang paling jauh, mungkin memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit, dari pos 3 ke pos 4 tidak sampai satu jam, sebelum sampai pos 4, kita sudah bisa melihat keindahan Ranu Kumbolo dari kejauhan di bawah sana, dari pos 4 ke tepi Ranu Kumbolo tempat mendirikan tenda, juga tidak sampai satu jam. Kita juga sesaat akan menyusuri tepian danau. Bila sudah tiba di lokasi tenda (disitu juga terdapat bangunan permanen dari batu), akan terlihat sebagian rute perjalanan kita yang berada di punggung bukit.   
Awalnya kami membagi rombongan kami ke dalam 4 kelompok. Tapi yah itulah.... ga jelas bagaimana formasinya, akhirnya rombongan terpecah belah. Ada yang sedikit sedikit capek, ngeluh, kram dan sejenisnya. Saya yang awalnya pingin agak cepat jadinya harus lebih sabar mendampingi beberapa teman teman. Efek positifnya adalah banyak istirahat membuat kami lebih banyak ngobrol dan saling mengenal, karena sebelumnya kami bahkan belum saling mengenal walau satu kantor (maklum pegawai kantornya ribuan... atau mungkin saya aja yang kurang gaul...hiks...). Efek negatifnya adalah kami akan tiba semakin malam di Ranu Kumbolo, dan bagi saya pribadi yang sebenarnya masih sanggup jalan, akan lebih terasa melelahkan bila berlama lama di perjalanan. 
Idealnya bila stamina kita bagus, beristirahat cukup di keempat pos saja masing masing sekitar 5-15 menit tergantung banyaknya bawaan logistik dan tingkat kelelahan. Target perjalanan sekitar 4 jam-an.
Akhirnya saya dan beberapa teman sampai sudah malam. Mungkin sekitar jam 7 malam. Beberapa teman sudah sampai di Ranu Kumbolo. Yang belum sampe juga masih banyak. Saya langsung masuk tenda yang sudah berdiri dan belum dihuni siapapun. Porter sedang memasak. Saya dengar beberapa keluhan tentang capeknya naik gunung. Ya, mungkin mereka belum terbiasa tantangannya. Dalam hati saya berkata, ini kan sebenarnya masih pemanasannya, bagaimana lagi ke puncaknya? Sayapun menutup mata beristirahat sambil meluruskan badan. Sesaat kemudian, mungkin sekitar jam 8an malam, teman saya nyari tenda kosong dan saya tawarkan di tenda tempat saya. Dia baru tiba karena harus mendampingi beberapa orang yang juga mengalami mirip seperti di kelompok saya. Teman saya yang bernama Mahendra ini sebenarnya bisa jalan melesat bagai anak panah dengan ransel 100 liter terisi penuh. Menurut saya, dia dah bisa jadi porter..hahaha.... Malam menyisakan pemandangan bintang yang gemerlap diatas sana. Serasa menghibur kelelahan kami. Udara terasa dingin di ketinggian 2400 meter ini, ditambah hawa sejuk danau pula. Setelah mengobrol sebentar, saya pun tidur untuk esok pagi menyaksikan maha karya keindahan Ranu Kumbolo.

Saya kurang tahu bangun jam berapa. Dibangunkan teman saya, mungkin jam setengah enam pagi. Langit masih gelap. Namun samar samar terlihat sedikit gambaran terang. Dan akhirnya sinar matahari mulai muncul dari balik bukit yang ada hadapan kita. Sampai akhirnya matahari keluar dari salah satu bukit di sebrang sana. Pemandangan pun luar biasa indah. Ranu Kumbolo terlihat seperti mengeluarkan asap yang merupakan embun pagi. Terkadang, awan awan pun menutupi dua buah bukit tersebut. Pantulan air jernih dari Ranu Kumbolo juga membuat pemandangan alam semakin indah saja. Aku mencoba mengambil air dari Ranu, alamakkk dinginnya menyegarkan. Terkadang saya masih juga menggigil dengan hawa dingin, walaupun jaket masih tetap menyelimuti badan ini. Seorang teman mencoba memancing. Satu yang harus diingat, tidak diperkenankan untuk mandi, mencuci, dan berenang di Ranu Kumbolo karena inilah sumber air untuk kawasan Ranu Kumbolo. Jadi airnya harus dibiarkan apa adanya tetap bersih. Ambillah airnya dan gunakan di tempat lain untuk kebutuhan memasak, cuci muka, dan lainnya. Jangan langsung di sumber air. Berenang juga dilarang selain alasan menjaga kebersihan air, juga alasan keselamatan. Ini peringatan dari Penjaga Kawasan Taman Nasional. Jadi yang ada di film 5cm mereka berenang di Ranu Kumbolo sebenarnya kurang cocok.

Menyambut fajar di Ranu Kumbolo

Ranu Kumbolo
Setelah sarapan, beberapa teman mengajak untuk senam dan peregangan otot. Kami semua benar benar menjalaninya dengan serius. Harapannya agar kejadian semalam banyak yang kram dan sejenisnya, tidak terulang lagi. Dan sepertinya, itu terbukti. Perjalanan dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati lebih lancar jaya.
Sebelum kami berangkat, sesuai dengan rencana awal, kami mengumpulkan sampah sampah (terutama sampah plastik) yang bertebaran di sekitar ranu kumbolo tempat banyak mendirikan tenda. Kami memang sudah membawa trash bag yang banyak. Harapan kami juga sebenarnya adalah memancing pendaki pendaki yang lain untuk lebih sadar akan lingkungannya. Tidak membuang sampah sembarangan, tapi membawanya pulang. Saya tidak terlalu banyak memungut sampah, ada beberapa teman lain yang sangat semangat.

Diawali dengan doa, pagi hari kami berangkat menuju Kalimati. Di kalimati kami akan beristirahat sampai jam 12 malam nanti berangkat menuju puncak Semeru yang bernama Mahameru. Perjalanan ini kemungkinan akan memakan waktu sekitar 3 jam. Di awal perjalanan langsung dihadang oleh tanjakan yang disebut tanjakan cinta. Mitosnya adalah bila kita berhasil menanjak terus sampai atas tanpa sekalipun menoleh kebelakang, pasangan yang selalu kita pikirkan, akan jadian sama kita. Sebagai info, memandang kebelakang akan memandang keindahan Ranu Kumbolo dan keindahan bukit bukit di sekitarnya. Tapi kita juga bisa memandangnya sesudah sampai di atas bukit. Selama menanjak, saya membayangkan dan mendoakan agar pacar saya yang berada nun jauh di Medan sana, semoga kami bisa menikah, punya anak, dan hidup bersama, dan saling mengasihi. (alamakkk....mantap nian doanya..).
Saya berhasil menanjak tanpa menoleh sekalipun ke belakang. Horeee...hahaha...
Tanjakan Cinta
Setelah memandang keindahan Ranu Kumbolo, saya pun membalikkan arah menuju arah sebaliknya. Terhampar indah bunga bunga Lavender yang semuanya lagi mekar di bawah sana. Warnanya merah muda menggoda. Ini benar benar lokasi yang indah untuk foto prewedding...hahaha.... Lokasi ini dinamakan Oro oro ombo. Kami beruntung datang ketika Lavender lagi mekar mekarnya. Sebenarnya ada dua jalur menuruni bukit. Pertama ke kiri menyusuri punggung bukit lebih landai. Atau langsung turun bukit ke bawah. Kami pun ambil track yang langsung menuju ke bawah agar bisa langsung menyusuri keindahan hamparan mekarnya Lavender. Usut punya usut, ternyata tanaman yang indah ini bukanlah Lavender, melainkan Verbena Brasiliensis Vell (menurut penjelasan petugas pengelola TNBTS), tanaman asal amerika selatan yang bisa jadi mengancam keberadaan padang rumput yang ada.

Oro-oro Ombo
Cukup lama kami berfoto foto disini. Jika melihat lokasinya, sangat super sekali, ibarat sebuah lembah yang sangat luas berisi padang rumput dan tanaman Verbena yang dikelilingi oleh tembok tembok bukit pinus di kejauhan. Tampak juga gunung menjulang, dan terkadang terlihat puncak Semeru dengan asap yang terkadang mengepul. Namun terkadang puncak gunung tidak terlihat karena tertutup awan. Luar biasa. Kami pun terus menyurusi jalan. Selepas sabana, kami memasuki hutan didominasi pepohonan cemara. Karena itu dinamakan Cemoro Kandang.
Cemoro Kandang
Di perjalanan, hujan ringan sempat membasahi bumi. Namun dengan raincoat, perjalanan bisa terus dilanjutkan. Akhirnya sampai juga di pos Kalimati. Lokasi ini adalah padang rumput yang sangat luas. Di sisi kiri dan kanan di kejauhan adalah hutan hutan yang sepertinya didominasi pohon cemara. Pos disini sudah terbangun sebuah rumah permanen. Ketika kami hampir mencapai Kalimati, hujan yang awalnya gerimis menunjukkan tanda tanda mau lebat. Kami pun berusaha melangkah cepat mencapai pos itu. Beberapa teman sampe belakangan. Ternyata ketika hujan lebat mereka masih di hutan cemara. Sehingga mereka membuat flying sheet dulu untuk berteduh.

Kalimati sering dijadikan tempat camp terakhir sebelum menuju puncak. Selain karena dataran yang luas, sekitar 30 menit dari kalimati ada sumber air. Dari sini juga bisa memandang Mahameru. Memang ada beberapa yang bermalam di hutan Arcopodo, tapi tentunya disana akan lebih dingin. 

Kalimati
Dari siang sampai sore, bahkan sampai jam 7 malam, hujan terus menerus tiada henti. Hawa pun menjadi sangat sangat dingin. Ketinggian Kalimati di 2.700 meter dpl ini saja sudah dingin ditambah lagi dengan hujan yang terus menerus. Walau menggunakan jaket, kaos kaki, masker, kupluk, kaos tangan, dan masuk ke dalam sleeping bag, tetap saja masih kedinginan. Saya berempat di dalam tenda dengan teman yang lain, berhimpitan pun tetap saja tidak bisa tidur karena terlalu dingin. Akhirnya setelah hujan reda, kami sebentar berkumpul sekitar jam 8 malam. Dari diskusi tersebut, ada beberapa hal penting yang kami sepakati. ada beberapa orang yang tidak menuju Mahameru karena memang kondisi fisik tidak memungkinkan. Nah , ada beberapa orang yang ingin mulai jalan jam 10 malam karena mereka ingin ke puncak namun mereka tidak percaya dengan kemampuan fisik mereka. Namun ketua rombongan memaksa agar berangkatnya harus sama semua jam 12 malam. Pada akhirnya, semuanya berangkat bersama sama namun beberapa teman tersebut gagal mencapai puncak, menyerah ketika menanjak di track pasir.
Untuk diketahui, bahwa batas terakhir berada di Mahameru adalah sekitar jam 9 pagi. Diatas jam 9 pagi, arah angin akan berubah sehingga semburan asap akan menuju mahameru. Bila dihirup, bisa mati. Dan sebenarnya untuk diketahui juga, sebenarnya ijin pendakian hanya sampai Kalimati. Menuju  Mahameru dilarang, oleh karena itu petugas taman nasional tidak bertanggung jawab terhadap hal hal yang terjadi pada pendaki antara Kalimati sampai Mahameru. Berarti, semua pendaki yang menuju Mahameru sudah melanggar Konstitusi..hahahaha...

Di Kalimati, ketika saya ke semak semak untuk buang air kecil, sangat banyak kotoran manusia bertebaran. Bahkan bertebaran di areal jalan setapaknya. Sangat menjijikkan. Hal ini juga ditemui di daerah Ranu Kumbolo. Semakin banyaknya pengunjung yang mendaki Semeru ini, semakin banyak juga sampah dan kotoran yang melimpah di kawasan ini. Sayang sekali. Seharusnya buang air besar juga ada etikanya. Yang paling baik tentu menggali tanah dan menguburnya kembali. Saya pikir sebaiknya perlu untuk mengentikan sementara kegiatan pendakian untuk kepentingan konservasi. Hal ini dilakukan di Gunung Gede Jawa Barat.

Kami mulai berjalan menuju Mahameru jam 1 pagi. Sebenarnya kami sudah mulai makan jam 11an malam, tapi namanya juga rombongan besar, selalu membutuhkan waktu yang lama untuk berkemas dan koordinasi. Saya tetap membawa carrier bag saya, isinya airrr.... Sekitar dua literan yang dibagi ke dalam 3 botol. Sisanya kebutuhan medis secukupnya. Hal ini membuat saya cukup tenang berjalan. Oh iya, sangat baik bila menggunakan tongkat. Hal ini sangat berguna di tanjakan pasir nantinya. Saya sendiri menggunakan tongkat kayu yang saya dapatkan ketika menuju Ranu Kumbolo. 
Satu jam pertama kita akan melintasi kawasan hutan lebat yang disebut Arcopodo. Hutan ini sangat dingin. Terkadang bisa muncul hujan es di kawasan arcopodo. Saya lengkap menggunakan jaket, kaos kaki, sepatu, kaos tangan, masker, dan penutup kepala. Track hutan yang terus menerus menanjak kadang buat gerah juga. Tapi anginnya amat sangat dingin. Di satu titik, terlihat pemandangan nunjauh. Sepertinya kota Malang yang ditaburi cahaya. Indah sekali dan juga dingin sekali...
Kami terus melanjutkan perjalanan sampai akhirnya keluar hutan dan menuju tanjakan pasir. Diawali dengan menemukan beberapa batu nissan. Ada beberapa batu nissan disitu, yaitu beberapa korban pendaki gunung, baik yang sudah ditemukan meninggal ataupun sampai sekarang masih hilang. 
Teman saya Mahendra bertekad untuk melaju cepat ke puncak. Saya sebenarnya ingin mengikuti, namun karena ada permintaan dari teman serombongan saya yang kebetulan di dekat saya untuk berjalan beriringan, saya setuju saja. Perjalanan menjadi lebih lambat. Tapi saya pikir, saling membantu dan menyemangati satu sama lain itu lah salah satu inti perjalanan ini. Yang uniknya, ada beberapa teman yang ditarik oleh porternya. Gila bener porternya. Dan rata rata porter itu pakai sandal jepit. Saya tanya teman saya, gimana sih rasanya ditarik porter? Emang lebih mudah? Dijawab ya lebih mudah, kita tinggal berusaha tetap menyeimbangkan badan saja, walau tetap capek.

Kondisi di tanjakan pasir benar benar sulit. Pasirnya benar benar tebal, sehingga sering merosot. Kalau saya perhatikan dan rasakan, tanjakan pasir Semeru lebih sulit dibanding tanjakan pasir Rinjani. Dan ramenya bukan main. Rame sekali, sementara lebar track tanjakan itu tidak terlalu lebar. Saya sering berusaha menahan emosi, ketika ada pendaki lain beristirahat sampai menyebabkan track tanjakan itu terhalang. Saya yang sudah berusaha sedemikian rupa mengatur nafas dan langkah saya, dengan sangat terpaksa harus berhenti. Ini malah membuat saya jadi semakin capek saja. Tingkat keramaiannya memang luar biasa...
Ada pendaki lain yang menggantungkan mp3 di tasnya untuk mendengar musik, saya dan teman berusaha konsisten bersamanya. Lagu lagu cukup menghibur di gelapnya malam menjelang pagi. Saya juga bertemu dengan bapak yang sudah cukup berumur. Ternyata dia rombongan besar juga dan bapak ini ketuanya. Orangnya sangat memotivasi. Senang sempat bertemu di tanjakan pasir tersebut. Setelah berjalan sekian lama, matahari mulai menampakkan sinarnya. Indah sekali. Nah, di atas sudah terlihat seperti puncak. Tidak ada jalan keatas lagi tertutup dinding batu.  Banyak yang menyebut itu adalah puncak bayangan. Karena sebenarnya setelah melalui dinding batu itu, jalanan ke atas masih panjang, sekitar 1 jam perjalanan lagi. Namun dari sini, ketika beristirahat, kita bisa menikmati pemandangan alam yang sangat indah. Gunung Bromo, Arjuno dan gunung gunung lain terlihat indah dipenuhi hutan hutan yang lebat. Langit yang mulai cerah dan hamparan awan yang bersih, membuat rasanya diri ini semakin termotivasi untuk segera ke puncak.

Dan akhirnya saya sampai di Mahameru. Mungkin sekitar jam 7an pagi. Puncak ini datarannya lebar sehingga bisa menampung banyaknya pendaki. Banyak sekali bebatuan disini,  hasil letusan gunung. Di beberapa titik ditancapkan bendera merah putih dan informasi ketinggian di 3726 meter dpl. Salah satu yang menarik disini adalah, disebelah puncak tempat kita berdiri, selalu mengeluarkan letusan setiap beberapa menit sekali. Rutin. Letusan ini mengeluarkan asap yang disebut wedhus gembel. Asap ini membubung tinggi membentuk seperti jamur dan kemudian hilang ditelan angin. Sebenarnya asap ini berbahaya bila terhisap, bisa menyebabkan kematian. Namun sangat menarik dan ditunggu tunggu untuk dilihat dari dekat. Memang angin membawa asap letusan ini ke arah yang lain, namun katanya di atas jam 9 pagi, angin berubah arah dan membawa asap ini ke arah pendaki gunung. Katanya asap ini juga yang menyebabkan meninggalnya aktivis UI Soe Hok Gie yang kisahnya pernah difilmkan. Saya sempat melepas kaus tangan agar lebih leluasa makan snack. Namun dalam beberapa waktu, udara dingin membuat tangan saya seperti mati rasa. Dingin sekali. Padahal matahari sudah muncul, tapi diingin udaranya masih luar biasa. Saya kembali memakai kaus tangan. Hal yang sama dialami oleh teman yang lain.

Saya pun mengucap syukur dalam hati pada Tuhan atas kesempatan itu. Saya bisa menikmati keindahan alam dari puncak gunung. Indah sekali. Kita bisa melihat hamparan gunung gunung lain yang berwarna hijau karena tertutup pepohonan yang lebat. Melihat batas ufuk di kejauhan. Ciptaan Tuhan memang luar biasa.
Wedhus Gembel Mahameru
Pemandangan dari Mahameru
Setelah kami berfoto dan menunggu teman lain, kami pun turun kembali. Teman saya meminta stok air saya 600 ml. Selama mendaki dari kalimati sampai puncak, saya hanya minum kira kira 300 ml, hemat juga. Jadi saya masih punya stok sekitar 1 literan air. Salah satu makanan yang membuat saya tahan haus dan lebih kuat adalah gula merah.

Turun di track pasir sebenarnya lebih mudah. Tinggal menggunakan tumit sepatu untuk melangkah dan mendarat di pasir, membuat kita  berjalan cepat memanfaatkan merosotnya pasir tersebut. Tapi terkadang kita juga terpeleset dan jatuh ke pasir. Ketika turun, masih ada beberapa pendaki yang berjuang sedikit lagi mencapai puncak. Saya berusaha untuk memotivasinya. Hanya itu yang mereka butuhkan. Di tengah turunan dari track pasir, saya sempat duduk sebentar dan memandangi kawasan ini. Nikmatnya pemandangan ini. Setelah puas, melanjutkan kembali turunan pasir. Nah, disamping kiri dan kanan track pasir ini seperti ada jalanan menurun juga. track menurun ini lebih didominasi tanah keras dan berpasir juga. Sepertinya menggoda untuk beralih ke jalur tersebut. Tapi sebenarnya tidak disarankan melalui jalan tersebut. Karena bila keterusan, melalui track sebelah kiri atau kanan akan masuk ke hutan dengan jalur yang berbeda dan bisa tersesat di hutan/disorientasi arah atau menemui jurang yang dalam. Area ini sering disebut area Blank 75 karena terdapat jurang dengan ketinggian 75 meter. Sebenarnya di area hutan Arcopodo juga disebut area Blank 75 karena jalurnya yang berkelok kelok, sehingga bila tidak konsentrasi atau tanpa didampingi orang yang sudah pernah melalui jalur, bisa tersesat dan lama kelamaan menjauh dari jalur menuju Kalimati. Di keseluruhan area Blank 75 inilah sering pendaki gunung tersesat, menghilang, dan ditemukan sudah meninggal karena kekurangan logistik dan kedinginan. 
Track Pasir dan view disekitarnya
Sampai di ujung track pasir, saya berhenti dan beristirahat bersama seorang teman. Kami menunggu teman yang masih menuruni track pasir tersebut. Beberapa orang sudah turun bergabung bersama kami. Mereka menginfokan yang beberapa orang yang lain diatas turun sangat lambat, karena ada yang terkilir kakinya. Wah, ya sudahlah. Kami pun melanjutkan perjalanan melintasi hutan Arcopodo. Di beberapa tempat kami menemukan beberapa tenda. Pastinya sangat dingin bermalam disini. Kami pun berjalan juga lambat karena seorang teman kakinya sering kram. Akhirnya kami tiba juga di Kalimati. Mungkin jam 10 atau 11. Di salah satu sudut di Kalimati, kami memandangi Mahameru dimana keseluruhan bagian puncak benar benar hanya pasir dan melihat ada segaris track pasir yang kami lalui tadi. Benar benar perjalanan yang hebat.
Puncak dan segaris rute track pasir dilihat dari Kalimati
Di Kalimati kami habiskan waktu untuk istirahat dan makan siang. Beberapa teman yang tidak ikut ke puncak, malah sudah berangkat pulang. Kami memang berencana untuk langsung sampai di Ranu Pani pada sore atau malam hari. Beberapa teman sudah ada yang kram, terkilir, mual, demam dan sejenisnya. 
Kami mulai perjalanan sudah sore. Sudah diduga, pasti akan berjalan malam. Awalnya kami berjalan beriringan. Namun di pertengahan, kami berjalan berempat berdekatan. sisanya tertinggal di kejauhan ataupun di depan. Selama perjalanan dari Kalimati ke Ranu Kumbolo, banyak sekali pendaki menuju Kalimati. Padahal ketika kami pulang, tenda di Kalimati saja banyaknya bukan main. Saya membayangkan bagaimana besok pagi mereka berdesakan di track pasir menuju Mahameru. Bisa seperti kemacetan arus mudik lebaran tuh.
Di Oro oro ombo, kami masih sempat mengambil beberapa foto. Memang keindahan tanaman Verbena yang lagi mekar dan lembah yang indah ini membuat kami betah berlama lama. Ternyata gerimis mulai turun. Dan gerimisnya kok makin deras saja. Padahal saat itu saya tepat di punggung bukit dimana bisa menikmati oro oro ombo dan Ranu Kumbolo dengan hanya membalikkan badan saja. Karena sepertinya hujan ingin menurunkan air yang banyak, saya pun bergegas menuruni tanjakan cinta dengan langkah cepat dan bergegas ke pos permanen Ranu Kumbolo. Disini ada beberapa teman yang sudah sampai dan pada akhirnya mereka berjalan duluan. Kemudian satu persatu muncul teman teman yang lain. Menunggu mereka, saya hanya duduk di tepian tembok memandangi Ranu Kumbolo yang disiram air hujan di sore hari. Pemandangan yang menghanyutkan dan melangutkan jiwa.
Gerimis sore di Ranu Kumbolo
 Kami sudah menikmati kopi dan makan makanan ringan ataupun buah, namun masih ada anggota kelompok yang belum sampai. Pada akhirnya mereka sampai juga dengan kondisi ada teman yang benar benar kram, keseleo, dan permasalahan fisik lainnya. Akhirnya ketua rombongan membuat kelompok. Termasuk saya di kelompok terakhir yang berisi teman teman yang sudah bermasalah fisiknya. Seperti Ambulans saja. Perjalanan kami sangat lambat. Perjalanan yang kami awali sekitar jam setengah 7 malam, akhirnya tiba di homestay warga Ranu Pani sekitar jam 1 pagi. Perjalanan lambat sangat melelahkan. Tapi tak ada pilihan lain. 
Keesokan paginya saya bangun jam 8 pagi. Setelah sarapan, saya mencoba mandi. Airnya dinginnya luar biasa dingin seperti air es. Tapi saya paksakan juga mandi, ga tau itu malah menyehatkan atau ntahlah.....
Di daerah Ranu Pani ada juga yang menjual souvenir. Tokonya sederhana, tapi stok kausnya banyak, selain itu juga menjual gantungan kunci, stiker, emblem, dll yang semuanya bertema Semeru.

Akhirnya kami harus pulang. Dengan menggunakan Jeep sewaan kami berangkat dari desa Ranu Pani menuju Tumpang Malang menuju rumah tempat pemilik Jeep ini. Pilihan lain keluar dari Ranu Pani adalah menggunakan truk sayur. Di perjalanan semaksimal mungkin kami menikmati keindahan alam. Bukit bukit yang ditanami sayuran yang tertata rapi, sampai bukit bukit hutan di kejauhan. Kami lama berhenti di pertigaan jalan menuju Bromo dan Tumpang karena sedang ada pengaspalan jalan. Lebih dari sejam kami menunggu, mungkin hampir dua jam.

Di Jeep
Memasuki wilayah Tumpang, hujan kembali turun. Untunglah ada terpal yang digunakan untuk menutupi Jeep terbuka ini. Sampai di rumah pemilik Jeep di Tumpang, kembali kami berkemas dan dimanfaatkan untuk membersihkan diri. Disini juga kami berpisah untuk pulang ke Jakarta. Beberapa teman menggunakan angkutan umum sewaan menuju stasiun Malang. Beberapa orang terburu buru ke bandara malang mengejar jam penerbangan pesawat. Sementara saya dan 5 orang teman yang lain menggunakan mobil sewaan ke bandara surabaya. Kami sempat singgah di Malang untuk makan rawon dan membeli beberapa oleh oleh. Banyak jenis keripik disini. Selain itu seorang teman membeli apel malang yang banyak berjejer di pinggir jalan. Harga apel murah, tapi tetap main tawar. Malang memang sumbernya apel.
Akhirnya sampai juga di bandara Juanda Surabaya, menggunakan Citilink penerbangan jam 9 malam kami tiba di Jakarta sekitar jam setengah sebelas malam.
Perjalanan ini pun berakhir dengan indah. Saya banyak belajar dari perjalanan ini.

Terima kasih kepada teman teman perjalanan yang tidak bisa disebut satu persatu :)

NB: 
1. Untuk info resmi mengenai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dapat mengakses ke www.bromotenggersemeru.com
2. Bila mengunjungi Semeru, sampahnya dibawa turun ke Ranu Pani ya (terutama sampah plastik). Soalnya di Ranu Kumbolo dan Kalimati sudah ada tumpukan sampah plastik yang cukup banyak.
Tumpukan sampah didominasi plastik
3. Film 5cm membuat gunung Semeru semakin terkenal. Bersiaplah terhadap banyaknya pengunjung/pendaki di hari hari libur...